foto

foto
jpg

Jumat, 12 Agustus 2011

4.Pengusaha Batik Sukses yang Terlahir dari Keturunan Pembatik

DESA Trusmi merupakan sentra kerajinan batik sekaligus showroom batik terbesar di Cirebon. Di desa kecil yang berjarak 15 kilometer dari pusat kota Cirebon menuju arah Plered inilah, Abed Menda lahir pada tahun 1954 silam. Lantaran terlahir dari keturunan pembatik khas Cirebon, sejak kecil Abed sudah memperoleh pelajaran membatik dari orangtuanya. Anak kedua dari 10 bersaudara ini mulai membantu orangtuanya membatik sejak SMP. "Saya lahir saat ibu sedang membatik, jadi batik adalah darah dan daging saya," ujar bapak empat anak ini sembari tertawa. Tak heran, ketika menginjak bangku kuliah di Bandung pada tahun 1980, pikiran Abed selalu melayang ke batik. Ketika itu, Abed mulai memikirkan cara agar batik Cirebon dikenal masyarakat luas. Maklum, waktu itu, batik Cirebon hanya dipakai oleh kalangan khusus saja, bukan untuk kalangan umum. "Kebetulan di Bandung saya melihat banyak orang lalu lalang masuk showroom. Lalu saya berpikir, mungkin dengan cara membuat showroom seperti ini, batik Cirebon bisa dikenal," tuturnya. Menginjak tahun ketiganya belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bandung, akhirnya, Abed memilih meninggalkan bangku kuliah dan menekuni bisnis batik. Pada 1984, Abed mendirikan CV Batik Gunung Jati. Abed memilih nama ini sebagai wujud penghargaannya bagi Sunan Gunung Jati, tokoh yang memprakarsai terciptanya batik Cirebon. Batik Cirebon memang digunakan Sang Sunan sebagai media syiar Islam. "Saya ingin mencontoh beliau, dalam hal ini, usaha ini saya niatkan untuk syiar Islam," ujar Pak Haji, demikian Abed biasa disapa. Dengan modal Rp 70 juta hasil pinjaman dari sebuah bank, Abed resmi memulai sendiri usaha batiknya. Abed merekrut empat kelompok perajin. Setiap kelompok ini beranggotakan tujuh atau delapan orang perajin batik. Kini, empat kelompok tersebut sudah berkembang menjadi tujuh kelompok perajin. Karena perusahaannya terhitung baru, Abed memasarkan sendiri barang dagangannya door to door ke kantor-kantor. Sasaran pertamanya adalah kantor-kantor bank tempat ia meminjam dana. Hasilnya ternyata lumayan. "Batik saya cepat laku lantaran setiap minggu saya selalu menciptakan motif baru. Ini yang terus saya pelihara sampai sekarang," tandas Abed. Sayangnya, keuntungan yang ia dapat sangatlah tipis. "Hanya pas untuk saya saja," kenang Abed. Padahal, waktu itu Abed sudah berkeluarga. Namun, dewi fortuna ternyata tidak melupakan Abed. Pada tahun 1989, Abed mendapatkan hak cipta serta rekomendasi untuk menerbitkan seragam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Hak ini dipegangnya sampai sekarang. Permintaan seragam pun terus mengalir, mulai dari Departemen Agama, seragam haji, sampai seragam Pemerintah Daerah. Tidak heran jika Abed bisa mendapatkan omzet berkisar Rp 200 juta sampai Rp 300 juta per bulan. Lelaki religius yang akrab disapa Pak Haji ini juga harus melalui perjalanan panjang dan kadang pahit untuk mencapai sukses seperti sekarang. Abed pernah mengalami pahitnya terkena tipu rekan sekerja, hampir 20 tahun lalu, tepatnya tahun 1991. Ketika itu dia mendapat tawaran kerjasama dari orang Jakarta untuk menyediakan batik bagi karyawan PT Pertamina. Bukannya mendapat order seperti yang dijanjikan, ternyata orang tersebut malah membawa kabur uang Abed sebesar Rp 200 juta. "Waktu itu saya percaya saja, karena katanya keuntungan kerjasama tersebut untuk membangun pesantren," kenangnya. Gara-gara kejadian tersebut, bisnis Abed sempat goyah. "Saya harus memulai dari nol lagi," tuturnya. Meski begitu, Abed tetap mengikhlaskan uang yang hilang itu untuk tujuan ibadah. Tapi rezeki memang tak akan kemana-mana. Tidak berapa lama setelah kejadian tersebut, Abed mendapat tawaran bantuan keuangan dari relasinya. Dari uang bantuan itulah Abed melanjutkan produksi batik CV Batik Gunung Jati miliknya. Dari situ, roda bisnisnya terus bergulir. Jejaring bisnisnya pun semakin luas. Kini, dia sudah memiliki 40 showroom yang tersebar di beberapa daerah. Saat ini, Abed banyak menerima order baju seragam batik untuk Pegawai Negeri sipil (PNS). Misalnya, seragam PGRI, Departemen Agama, seragam haji, hingga seragam pemda. "Paling tidak dalam sehari saya harus membuat 1.500 potong seragam per hari. Harganya sekitar Rp 30.000 per potong," ujar Abed. Adapun untuk produksi ke-40 showroomnya, Abed memetok harga Rp 40.000 sampai Rp 2 juta per helai. "Untuk semua produk saya, baik batik tulis, batik cap atau batik printing, marjinnya kecil. Dapat 10% saja sudah bagus, padahal kalau dulu bisa dapat 30%," kata bapak empat anak ini. Dari jualan batik ini, kini Abed bisa mendapatkan omzet Rp 200 juta sampai Rp 300 juta per bulan. Tapi, belakangan omzet Abed memang sedikit menciut terkena dampak krisis ekonomi global yang mendera seluruh dunia. Abed mengerjakan seluruh order yang masuk dengan dibantu tujuh kelompok perajin. Setiap kelompok perajin tersebut beranggotakan sekitar delapan orang perajin. "Untuk upah, saya menerapkannya dengan cara bagi hasil," ujarnya. Selain dibantu oleh tujuh kelompok perajin tersebut, Abed juga mempekerjakan 58 orang karyawan. "Mereka saya serahi tugas mengurusi urusan administrasi dan tim kreatif," ujar Abed. Agar bisnis batiknya terus bertumbuh, Abed sudah mempersiapkan generasi penerus di antara keempat anak-anaknya. "Salah satu anak saya bercita-cita ingin meneruskan usaha saya ini. Saya sangat senang, apalagi anak saya punya dasar menggambar juga," ujar Abed. Sementara itu, industri batik di sentra batik Desa Trusmi, Cirebon, terus mengalami pasang surut. Salah satu permasalahan sentra batik ini adalah tingginya tingkat persaingan. Selain itu, minat wisatawan mancanegara untuk datang ke Trusmi kian menurun. Menurut Haji Abed Menda, setelah sekian puluh tahun malang melintang di industri batik Cirebon, ia kini menyadari bahwa industri batik Cirebon sedang sakit parah. Ada beberapa perstiwa yang menyebabkan industri batik Cirebon melemah. Pertama, teror bom yang terus berkelanjutan di tanah air. "Praktis sejak peristiwa bom bali pertama, kunjungan wisatawan mancanegara ke Cirebon, terutama ke Trusmi, semakin menyusut," ujar Abed. Abed menuturkan, sebelum kasus bom bali pertama, hampir setiap hari Trusmi dikunjungi rombongan wisatawan mancanegara. "Kini, paling hanya sebulan sekali, itu pun hanya satu atau dua orang, bukan rombongan seperti dulu," kenang Abed. Permasalahan kedua adalah kenaikan harga bahan baku akibat kebijakan pengetatan impor pemerintah. "Bahan baku seperti kain dan pewarna yang kebanyakan dari China, Jerman, dan Jepang, beberapa waktu lalu sempat susah masuk, sehingga harganya naik sampai 100%," keluh Abed. Abed bilang, sebenarnya ada juga bahan baku buatan lokal, tapi harganya justru dua kali lipat harga produk impor. "Kalau harga terlalu mahal, mana bisa kami mendapat keuntungan?" ujarnya lagi. Penurunan penjualan batik membuat banyak perajin batik ogah meneruskan profesi sebagai pembatik. "Di Trusmi, walau ada banyak showroom batik, tetapi nasib pekerja batik sendiri belum jelas. Terjadi ketimpangan yang luar biasa antara pemilik showroom dengan pekerja batik," ujar Abed. Tidak hanya itu, rata-rata pemilik showroom di Trusmi masih memiliki hubungan kekerabatan. Tapi, kekerabatan itu justru menimbulkan persaingan harga yang hebat. "Imbasnya malah menggerus margin dan pendapatan pekerja batik," tutur Abed. Kini, Trusmi juga mengalami krisis regenerasi perajin batik yang mau bekerja untuk memasok showroom. Untungnya Abed mempunyai sistem bagi hasil dengan kelompok perajin batik yang bekerjasama dengannya sebagai pemasok batik. Sehingga, usahanya masih berlanjut sampai hari ini. Sampai sekarang, Abed masih terus berkarya menghasilkan kreasi motif-motif batik yang baru. "Motif paling populer memang masih Mega Mendung, namun kami beri sentuhan modern agar pembeli batik tidak bosan," katanya. Abed mengaku gemar mempromosikan produknya melalui aneka pameran kerajinan di dalam negeri. Ia juga terus menawarkan produknya setiap ada celah pasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar