Nama: febri sandriya
kelas: XII-BAHASA
tugas: praktikum berpidato
Selamat siang,
Yang terhormat para guru penguji praktikum pidato
Beserta seluruh teman-teman yang berbahagia.
Salam sejahtera
Puji Syukur saya ucapkan kepada Tuhan atas segala karunia-Nya, Saya juga berterima kasih kepada guru-guru penguji. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memperpersilakan waktunya untuk mendengarkan pidato dari saya.
Pada kesempatan kali ini, saya ingin mengajak kita semua untuk mengingat kembali, program awal tahun 2012 yg di canangkan pemerintah untuk pengalihat BBM ke BBG dan untuk menyikapi era globalisai.
Apakah globalisasi sangat berpengaruh dalam program pemerintah dalam mencanangkan peralihan BBM ke BBG ?
Saya berharap pada kesempatan kali ini kita semua menjadi tahu, seberapa besar pengaruh globalisasi dalam pengaruhnya. Saya juga berharap kita semua dapat menghadapi pengaruh globalisasi tersebut.
Pengendalian konsumsi BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi pada 2012 mutlak dilakukan. Hal ini mengingat adanya pertumbuhan jumlah kendaraan di dalam negeri dan kenaikan harga minyak internasional.
Akibat dua hal tersebut, realisasi konsumsi BBM bersubsidi pada 2011 mencapai 41,69 juta kiloliter (KL), atau 103,3 persen di atas kuota Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2011 yang mematok kuota sebesar 40,36 juta KL. Angka ini dipastikan meningkat dan melebihi kuota yang ditetapkan lebih rendah sebesar 37,5 juta KL di 2012, bila tidak dilakukan pengendalian.
Upaya pengendalian jelas membutuhkan kebijakan yang efektif sekaligus efisien. Efektif dalam arti mampu meredam konsumsi, sekaligus efisien dalam pengimplementasian serta berdampak sosial-ekonomi yang minim.
Dalam rencana awal, sebagaimana tersirat dalam UU APBN No. 22/2011, Pemerintah berniat untuk melakukan pengendalian kuota BBM bersubsidi melalui pengalokasian yang lebih tepat sasaran. Dengan kata lain melalui pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dan mengalihkannya ke BBM nonsubsidi atau Bahan Bakar Gas (BBG). Ada pun pengendalian kuota melalui kenaikan harga seakan telah ditutup dengan ketentuan Pasal 7 ayat (6) UU No. 22/2011 yang menetapkan bahwa harga jual BBM bersubsidi tahun 2012 tidak dinaikkan.
Persoalannya, pengaturan konsumsi melalui pembatasan dan pengalihan membutuhkan infrastruktur pendukung, yang belum tersedia secara merata. Infrastruktur ini mencakup fisik dan nonfisik. Untuk infrastruktur fisik, misalnya, baru sebanyak 2.080 SPBU dari total 3.062 Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU) di wilayah Jawa-Bali yang menjual BBM Nonsubsidi. Sisanya memerlukan investasi baru untuk mampu menjual BBM nonsubsidi. Begitu juga untuk pengalihan ke BBG, sampai saat ini infrastruktur fisik yang ada belum siap sepenuhnya. Sampai saat ini baru tersedia 10 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) di daerah Jabotabek. Demikian pula dibutuhkan pasokan gas yang terjamin serta konverter kit untuk kendaraan yang terjangkau serta bisa diandalkan.
Sementara nonfisik, perlu adanya sosialisasi intensif maupun pelatihan yang diberikan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) maupun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait teknis pelaksanaan pembatasan di lapangan. Sosialisasi dan pelatihan ini diperlukan untuk mengedukasi masyarakat tentang keselamatan, standarisasi komponen, perawatan converter kit, serta memastikan garansi produsen kendaraan tetap berlaku. Berbagai hal ini masih menunggu detail teknis pembatasan yang akan dituang dalam perubahan Perpres 55 tahun 2005 jo. Perpres 9 tahun 2006.
Begitu juga, pembatasan rawan permainan baik dalam distribusi di hulu maupun di hilir minyak bersubsidi. Di hulu, peruntukan BBM bersubsidi untuk daerah rawan diselewengkan dan diselundupkan ke negara lain. Terutama bila harga minyak internasional terus meningkat, sementara harga BBM bersubdisi tidak dinaikkan. Di hilir distribusi, akan banyak masalah menyangkut disiplin SPBU dalam membatasi konsumsi BBM bersubsidi. Kelangkaan solar bersubsidi yang terjadi di beberapa daerah, misalnya, disebabkan oleh permainan pemberian jatah yang tidak merata oleh pihak SPBU.
Selain persoalan di atas, pembatasan BBM bersubsidi dan pengalihan ke BBG juga akan memiliki dampak lain pada Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM). Pelaku UMKM adalah kelompok masyarakat menengah ke bawah yang tidak memiliki akses pada BBG. Dus, penggunaan pertamax, yang pasokannya lebih pasti ketimbang gas, akan dilakukan. Jika ini terjadi maka jelas akan berdampak pada laba dan kemampuan menyerap lapangan kerja dari UMKM, yang pada akhirnya berimbas pada tingkat kesejahteraan masyarakat menengah bawah.
Pilihan Pemerintah untuk mengambil kebijakan pengaturan untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi bukan tidak beralasan. Dari berbagai diskusi dan wacana yang berkembang setidaknya terdapat lima alasan Pemerintah dalam memilih pengaturan ketimbang menaikkan harga.
Pertama, pengaturan konsumsi BBM bersubsidi didasari satu visi jangka panjang tentang energi nasional. Di mana Pemerintah bertekad mengurangi ketergantungan terhadap energi minyak yang terus mengalami defisit, dan menambah penggunaan energi gas alam yang surplus dimiliki Indonesia.
Kedua, pengaturan mengembalikan subsidi ke filosofi dasarnya, sebagai bantuan untuk spesifik target (targetted audiences) bukan pemberian yang gebyah uyah. Dengan pengaturan, subsidi BBM diharapkan hanya dinikmati oleh mereka yang berhak, bukan oleh semua pihak termasuk mereka yang mampu sebagaimana selama ini terjadi. Pengaturan juga sejalan dengan amanat keputusan Mahkamah Konstitusi yang tetap mengharuskan adanya subsidi bahan bakar minyak.
Ketiga, pengaturan ketimbang kenaikan juga lebih meminimalisir dampak sosial yang mungkin muncul sebagai akibat pengurangan kuota BBM bersubsidi. Pengaturan tetap memungkinkan masyarakat golongan menengah bawah dan miskin untuk menggunakan BBM bersubsidi. Sehingga dampak sosial yang dirasakan lebih sedikit ketimbang kenaikan harga BBM, yang pasti akan berdampak secara langsung terhadap mereka. Sudah barang tentu, pengaturan akan tetap memiliki dampak tidak langsung, melalui efek kenaikan harga terhadap masyarakat menengah bawah dan miskin.
Keempat, terkait dengan hal di atas, pengaturan ketimbang kenaikan harga juga lebih bisa diterima karena mengisolasi dampak dari pelemahan ekonomi global yang terjadi saat ini terhadap perekonomian nasional. Peruntukan BBM bersubsisi yang tetap bagi masyakarat menengah bawah dan miskin diharapkan menahan tingkat konsumsi mereka secara langsung mapun tidak langsung, melalui efek subsidi dan terkendali harga pangan yang biasanya berkorelasi erat dengan harga BBM.
Kelima, pengaturan ketimbang kenaikan harga juga lebih akan menghemat belanja negara secara lebih signifikan ketimbang kenaikan harga. Pembatasan diperkirakan akan menurunkan konsumsi BBM bersubsidi sebesar 30 persen dan menghemat belanja subsidi kurang lebih Rp. 40 triliun. Sementara kenaikan harga sebesar 30 persen hanya akan menghemat kurang dari Rp 35 triliun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar